Kenaikan Harga Tiket Pesawat Bisa Menggerus Kunjungan Wisatawan

oleh -1,408 views
oleh

SUARAJATIM.CO.ID, JAKARTA – Kenaikan harga tiket pesawat domestik sempat merisaukan masyarakat. Hal ini juga dianggap mengganggu industri pariwisata. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/INACA) diminta merespon atas petisi yang disampaikan masyarakat.

“Penurunan bervariatif, bisa sampai 50 persen sampai 60 persen. Yang pasti di atas 20 persen sampai 60 persen. Absolutnya sudah kita tentukan,” ujar Ketua INACA Ari Ashkara, Minggu (13/1).

INACA berkomitmen menurunkan harga tiket diikuti komitmen positif para stakeholder. Sebagai contoh akan di-share juga penurunan harga yang sudah dilakukan. Menurut Ari, INACA sudah berkumpul dan berdiskusi sejak pekan lalu. Ia memastikan INACA mendengar keresahan masyarakat terhadap harga tiket. INACA juga mendengar pendapat para direktur utama maskapai.

“Sejak Jumat lalu kami sudah menurunkan tarif harga domestik khususnya Jakarta-Denpasar, Jakarta-Yogyakarta. Walau di tengah kesulitan maskapai nasional yang ada, kami lebih mendengar keluhan masyarakat. Intinya seperti itu,” katanya.

Ari menambahkan, penurunan harga tiket pesawat tak lepas dari bantuan para mitra. Mitra-mitra yang dimaksud antara lain PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero).

“Sekarang masyarakat bisa menikmati kembali harga yang dianggap tadinya mahal. Semua turun pada umumnya dan agak lumayanlah,” pungkasnya.

Sementara, Tenaga Ahli Menteri Pariwisata bidang Aksesibilitas, Robert Waloni mengatakan, harga tiket pesawat pasti mengalami fluktuatif. Pada saat permintaan rendah atau “off-peak season”, tingkat harga, secara umum akan turun. Dalam pasar monopoli dan, menaikan harga pada season seperti itu atau pada season apapun adalah wajar.

“Kenaikan harga tiket juga bisa disebabkan kenaikan biaya operasi terutama fuel costs serta kenaikan nilai tukar USD terhadap IDR.
Dalam pasar/route yang non-monopoli kenaikan harga satu airlines akan menguntungkan pesaingnya yang masih memiliki kapasitas,” ujar Robert.

Menurutnya, perlu pengecekan bagaimana tingkat kompetisi pada rute-rute domestik, serta mengecek ada atau tidaknya kenaikan harga fuel atau avtur dan kurs USD vs IDR. Jika memang terjadi monopoli dan/atau ada semacam kartel, serta memang terjadi kenaikan biaya yang signifikan maka wajar saja kenaikan harga tiket terjadi.

“Apalagi diketahui bahwa tingkat kenaikan belum mencapai batas atas yang ditetapkan pemerintah. Wajar, karena ada ruang yang legal bagi badan usaha untuk memanfaatkan kondisi pasar tersebut,” paparnya.

Dilanjutkannya, yang mempengaruhi fluktuasi harga tiket dalam pasar non-monopoli, pada prinsipnya sama saja dengan yang berlaku pada produk/jasa industri lain. Yakni biaya dan fluktuasi “supply and demand” . Jika demand turun maka harga akan ikut turun.

“Sedikit perbedaan hanya pada “amplitudo dan frekuensi” perubahan. Dimana untuk industri penerbangan, karena sifatnya, harga sangat variatif dan tingkatnya sangat fluktuatif,” tutur Robert.

Robert pun menanggapi masyarakat yang memilih transit ke negara tetangga ketimbang direct flight domesik. Menurutnya, keputusan masyarakat sangat tergantung pada ketersediaan jalur penerbangan dan tingkat harga seperti yg sudahh terjadi pada jalur Aceh-Jakarta via Malaysia. Jika harga ticket domestik secara umum lebih mahal dari harga tiket internasional, maka kondisi tersebut akan terus terjadi bahkan bisa meluas.

“Apalagi bepergian ke sesama negara ASEAN tidak perlu visa serta proses transit di bandara Malaysia dan Singapore sangat mudah dan nyaman. Kalo tidak segera diatasi, pada waktunya, kondisi ini akan merugikan airlines nasional dan bandara Indonesia secara umum,” terang Robert.

Kenaikan harga tiket domestik, tambahnya, tentunya membawa dampak negatif bagi industri pariwisata secara luas. Seperti hotel, restoran, transportasi, tour, atraksi wisata hingga pendapatan asli daerah (PAD) dari Pariwisata) akan terdampak karena jumlah wisnus dan wisman menurun.

“Wisnus dan wisman tergolong “leisure travelers” yang sangat sensitif terhadap fluktuasi harga. Terutama harga tiket yang merupakan komponen terbesar dalam biaya paket tour mereka,” tambahnya.

Sebab itu, Robert menilai Low Cost Carrier (LCC) sangat penting bagi pengembangan industri pariwisata. LCC dengan konsep yg benar seperti contoh “Southwest Airline” yg merupakan “nenek moyang LCC” sangat menguntungkan.

“Operasi Suthwest Airline tercatat mencetak untung/laba terus menerus dalam lebih dari 40 tahun. Untuk menjaga pertumbuhan pariwisata agar tetap tinggi seperti saat ini maka LCC harus terus didorong tumbuh lebih cepat dan lebih sehat lagi dengan antara lain membangun LCT (Low Cost Terminal) bahkan Low Cost Airport sebagaimana yang digagas Menteri Pariwisata RI, Bapak Arief Yahya,” bebernya.

Agar gejolak harga seperti saat ini tidak terjadi di masa yang akan datang, Robert menyarankan perlu ambil langkah-langkah tertentu. Pertama, menciptakan situasi sehingga kompetisi antar airlines tetap tinggi di setiap rute domestik.

“Tingkat kompetisi berbanding terbalik dengan tingkat harga dan layanan. Pasar akan mengontrol harga dan layanan secara efektif,” ujarnya.

Kedua, Seluruh komponen (pihak/institisi) yang mempengaruhi tingkat harga tiket seperti penyedia avtur dan penyedia layanan bandara tidak boleh terus-menerus dimonopoli.

“Kemudian membangun LCT dan/atau LCA di destinasi utama dan transit point (Hub),” tukas Robert.

Kenaikan harga tiket pesawat dan biaya bagasi apakah mempengaruhi jumlah wisatawan yang ingin traveling? Menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya tentu hal tersebut akan berdampak terhadap jumlah penumpang.

“Kita lihat namanya elastisitas. Tarif naik dengan alasan apapun volumenya (penumpang) akan turun,” ujar Menpar Arief Yahya.

Dalam hal ini, Kementerian Pariwisata akan memberikan feedback kepada airlines. Jika nantinya kebijakan ini menimbulkan memicu masalah baru, tentunya akan ada kebijakan baru yang akan dilakukan.

“Nanti akan muncul keseimbangan baru jadi sekarang turun drastis dari 100 bisa saja menjadi hanya 20-30 persen SLF-nya (Seat Load Factor),” kata Menpar Arief Yahya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *