Polemik “Zero Dollar Tour” Bali Berdampak Penurunan Serius

oleh -2,030 views
oleh

SUARAJATIM.CO.ID– Polemik berkepanjangan soal “Zero Dollar Tour” betul-betul berdampak serius terhadap kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali. Terutama wisman asal Tiongkok, yang sudah “jatuh cinta” dengan Pulau Dewata itu. Bahkan, Menpar Arief Yahya, 5 Mei 2018 lalu menerima 3 awards sekaligus, dari CEO Destination Marketing CTrip Ms. Jane Qian.

Dari mesin big data Ctrip, Online Travel Agent (OTA) terbesar di Tiongkok, Bali menduduki peringkat 1, The Best Honeymoon Destination 2018. Bali juga masuk list, peringkat 4, Top 10 Best Destination Worldwide. Dan Bali masuk nomor 4 jug, dalam daftar 10 besar, The Best Luxury Destination. Strategi promosi untuk pasar China yang digarap Menpar Arief Yahya dengan kombinasi Branding, Advertising, dan Selling (BAS)-nya sukses besar.

Sayang sekali, reputasi itu seolah runtuh dengan polemik soal “Zero Dollar Tour” yang membuat “gaduh” dan menciptakan iklim yang tidak kondusif buat industri pariwisata di Bali. Apalagi muncul kata-kata di media massa, baik online maupun cetak, yang bernada keras dan kurang bersahabat.

Misalnya, kata-kata “mafia”, “kartel”, “sweeping”, “tutup semua”, “tidak ada kompromi” dan sebangsanya yang di-bold. Ada juga judul di media online: Gubernur Bali Mengamuk.. Dan seterusnya.

Dan itu semua diviralkan melalui berbagai channel media. “Saya sudah ingatkan, jangan biarkan gaduh. Pariwisata itu industry hospitality, bisnis yang mengedepankan keramah-tamahan. Kalau masalahnya business to business, selesaikan di level asosiasi,” keluh Menpar Arief Yahya yang juga Doctor Strategic Management itu.

Arief Yahya khawatir, kegaduhan seperti itu bisa ditunggangi oleh kompetitor Bali dan sekaligus kompetitor Wonderful Indonesia. Mereka bisa mengompor melalui siapa saja, agar turis Tiongkok bisa berbelok ke negaranya. “Karena itu, harus hati-hati, jangan biarkan kegaduhan ini merusak iklim industri pariwisata sendiri. Kita semua yang rugi. Ingat, kata-kata keras itu bisa jadi bukan berasal dari kita, tapi didesain oleh pesaing kita,” sebut Menteri Arief Yahya.

Karena itu, Menpar Arief sudah menyarankan agar ASITA, Association of The Indonesian Tour and Travel Agencies bertemu CNTA, China National Tourism Association, dan membuat “White List Tour Agencies – Tour Operators.” Sama-sama membuat daftar atau meregistrasi TA-TO, yang direkomendasi oleh kedua belah pihak, sehingga mudah mengontrolnya ketika ada keluhan.

“Ini adalah cara yang paling smooth, paling halus, paling bijak, untuk menyelesaikan case Zero Dollar Tour di Bali. Ibaratnya, menangkap ikan, tanpa harus membuat keruh airnya. Dari situ, tidak perlu heboh-heboh, masing-masing asosiasi bisa saling mengontrol anggotanya untuk menjaga iklim bisnis yang baik,” ungkap Arief Yahya.

Menpar yang Mantan Dirut PT Telkom ini selalu menyebut, di sector Pariwisata, dia mengguakan prinsip: Industry lead government support. Bukan sebaliknya. Karena ada banyak hal yang pemerintah tidak boleh terlalu ikut campur di urusan bisnis. Pemerintah lebih menjaga regulasi, agar iklim usaha pariwisata semakin kondusif dan berkembang.

Bagaimana dampak polemik yang sudah terlanjur viral, termasuk di media China itu? “Besar sekali. Hampir semua airlines berkeluh kesah ke saya, banyak cancel. Apalagi yang chartered flight, puluhan yang sudah cancel, batal terbang ke Bali. Banyak TA TO juga menyesalkan situasi menjadi seperti ini? Saya amati angka-angkanya, memang betul, dampaknya serius buat Bali,” ujar Arief Yahya.

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah kena banyak Travel Advice (Travel Warning) dari banyak Negara, pasca gempa Lombok Sumbawa, gempa dan tsunami di Palu Donggala, liquifaksi di Sultra, gempa susulan di banyak daerah di tanah air. Kini ditimpa polemik negative yang viralnya menembus media di Tembok China. “Saya sudah berhitung, dampak gempa ini pasti lebih berat dari erupsi Gunung Agung Bali, September 2017 lalu,” kata Arief.

Jika Gunung Agung berdampak 1 juta kunjungan, dalam masa 6 bulan, dari September 2017 sampai April 2018, maka gempa kali ini lebih dalam lagi. Diperkirakan juga sekitar 1 juta wisman. Ditambah polemik yang sudah meluas itu, akan semakin berat buat industri di sana.

“Dari grafik angka kunjungan sangat jelas terlihat. Juli 2018 dan Agustus 2018 itu kita masih on track, masih on target. Juli tercapai 110%, Agustus 100,8%, rata-rata di atas 1,5 juta kunjungan per bulan. Tanggal 5 Agustus gempa di Rinjani, sampai harus mengevakuasi wisman Thailand dan Malaysia. Tanggal 19 Agustus 2018 gempa besar 7 SR, itulah yang menekan angka kunjungan di bulan September 2018,” jelas Arief Yahya.

Angka kunjungan September 2018, langsung anjlok, hanya 1,35 juta, atau hanya tercapai 75% dari proyeksi. Sudah begitu, Bali dilanda isu yang tidak menyenangkan di pasar China yang sedang bertumbuh itu. Maka bulan Oktober 2018, diturun lebih drastis lagi. Dari 193 ribu di bulan Oktober 2018, diperkirakan tinggal 50%-nya saja di November 2018.

Karena sudah menyentuh di angka kunjungan wisman Tiongkok, Menpar Arief Yahya pun ikut bersedih. Itu mengingatkan saat terjadi erupsi Gunung Agung September 2017 lalu. Pemerintah China mengeluarkan Travel Warning, dan Oktober, November, Desember, betul-betul kosong ke Bali. “Saya masih ingat, industry menjerit, lalu berkirim surat ke Pak Presiden Jokowi, agar membantu recovery Bali. Kita Ratas –Rapat Terbatas—di Bali, dan dipimpin langsung oleh Presiden,” cerita Arief Yahya.

Peristiwa itu, baru setahun silam. Masih mudah diingat. Apa yang dilakukan Menpar Arief Yahya? Pertama, awal Januari 2018, Menpar Arief terbang ke Beijing melobi dan menjelaskan ke media bahwa Bali aman. Lalu business gathering dengan sekitar 400-an pelaku industri pariwisata Tiongkok, tour agent, tour operator, untuk kembali menjual paket wisata ke Bali, sampai-sampai dalam satu hari 9 meetings.

Lalu, Menpar Arief Yahya cepat-cepat melobi dan meyakinkan CNTA – China National Tourism Administration bahwa Bali aman, Indonesia aman. “Saya langsung terbang dari Beijing ke Kunming, lanjut ke Chiang Mai Thailand, dan bertemu khusus dengan CNTA di sela-sela ATF 2018, pertemuan antar menteri Pariwisata se ASEAN. Saya masih ingat, saya bertemu Mr Du Jiang, Vice Chairman of CNTA, tanggal 25 Januari 2018,” cerita Arief Yahya.

Dalam pertemuan di Shangri La Hotel Ching Mai, Thailand itu, Menpar Arief Yahya mengusulkan kedua Negara membentuk tim Task Force, agar ada partner kerja antar kedua negara, dan setiap persoalan yang menyangkut industri di kedua negara bisa diselesaikan dengan baik. “Beliau setuju, dan sejak itu wisman dari Tiongkok berdatangan lagi,” kata Menpar Arief.

Yang disesalkan Menteri Arief Yahya, dulu sampai sebegitu serius, merayu agar wisman China berwisata lagi ke Bali dan Indonesia. Setelah mulai normal, tiba-tiba muncul kata-kata yang jauh dari adat ketimuran, jauh dari tradisi dan budaya Bali yang penuh kesantunan bertutur.

Di Shanghai, saat CITM – China International Travel Mart 2018, 17-18 November 2018, Menpar Arief Yahya kembali berusaha agar wisman China tidak “ngambek” lagi. Dia merayu lagi Wakil Menteri Pariwisata dan Kebudayaan Tiongkok, Yu Qun, yang jabatan resminya adalah Party Member of The Leadership of China’s Ministry of Cultural and Tourism di Hal E-5. Dia memohon agar wisatawan China tetap berwisata ke Indonesia dan Bali.

“Mereka oke, mereka tetap berkomitmen untuk mengirimkan wisatawan ke Bali dan Indonesia,” kata Arief Yahya yang didampingi Duta Besar Indonesia untuk RRT, Djauhari Oratmangun dan Konsul Jenderal RI di Shanghai, Siti Mauludiah.

Sehari setelahnya, disusul Presiden Jokowi juga bertemu Presiden Xi Jinping di Port Morresby, PNG. Isu Pariwisata juga dibicarakan di sana, dan secara khusus Presiden Jokowi meminta agar Tiongkok tetap mengirimkan wisatawannya ke Indonesia. Saat itu juga direspons positif oleh Presiden Xi Jinping.

Tiga hal yang disetujui Presiden Xi dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi. Pertama, akan mengirimkan wisatawan dengan proyeksi 3 juta turis ke Bali dan 10 Bali Baru. Kedua akan merealisasi investasi membangun di 10 Bali Baru atau 10 Destinasi Prioritas. Ketiga, akan memperbanyak direct flights ke Indonesia dari Tiongkok, karena problem utamanya adalah transportasi udara.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *