Spending Wisman Naik, Pariwisata Makin Melejit

oleh -1,502 views
oleh

JAKARTA – Latar belakang Menpar Arief Yahya yang berasal dari kalangan professional membuat sektor pariwisata terus bertumbuh dan meyakinkan. Dia menggunakan rumus 3S, yakni size, sustainability dan spread. Volume atau jumlah harus naik. Growth atau pertumbuhan harus positif dan di atas rata-rata regional ASEAN maupun dunia. Dan, laba atau spending per kunjungan juga harus meningkat.

Itu punya yang dijelaskan Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata Guntur Sakti, soal rata-rata spending wisatawan mancanegara ke Indonesia. Guntur menggunakan dasar, rata-rata spending wisman sebesar USD 1.201,04 per kunjungan (PPK – Pengeluaran Per Kunjungan/ASPA – Average Spending Per Arrival) dari pintu utama.

“Data itu kita ambil berdasarkan hasil Passenger Exit Survey (PES) 2016. Pengeluaran rata-rata wisatawan mancanegara per kunjungan (PPK/ASPA) dari pintu utama adalah sebesar USD 1.201,04. Sedangkan wisatawan pintu lainnya (pos lintas batas) antara USD 178,14 – 190,88. Sedangkan data PES 2018, kami masih menunggu finalisasi dari BPS,” papar Guntur, Senin (1/7).
Tidak hanya itu, Guntur juga menjelaskan data Badan Pusat Statistik yang dirilis 1 April lalu. Data itu menyebut jika jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia mencapai 2,48 juta dalam 2 bulan awal pada tahun 2019.

“Jumlah kunjungan wisman hingga Februari mengalami kenaikan 8,19%. Jumlah itu jika dibanding jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama tahun sebelumnya, yang berjumlah 2,3 juta kunjungan,” katanya.

Kunjungan ini terdiri atas wisman yang berkunjung melalui pintu masuk udara sebanyak 1,44 juta kunjungan, pintu masuk laut sebanyak 661.160 kunjungan, dan pintu masuk darat sebanyak 383.080 kunjungan. Hal tersebut disampaikan 1 April lalu.

Mengenai kabar yang diperoleh dari Bank Dunia, yang mengeluarkan data spending turis di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan enam negara yang mengandalkan wisata bahari lainnya, Guntur mengaku belum mendapatkan data resminya.

Kabar itu menyebut spending turis di Indonesia lebih rendah dibandingkan Malaysia, Kosta Rika, Fiji, Vietnam, Thailand, dan Maladewa. Bahkan, spending turis ke Indonesia dikabarnya rata-rata 165 USD. “Rasanya itu tidak mungkin. Atau mungkin yang diambil data crossborder, atau pos lintas batas. Tentu, kami akan elaborasi dulu data tersebut, sedangkan data PES 2018 kami masih menunggu finalisasi dari BPS,” pungkas Guntur.

“Bank Dunia boleh saja menilai Indonesia terlalu agresif dalam meningkatkan jumlah kunjungan turis. Namun, jangan lupa bahwa setiap negara memiliki strategi tersendiri dalam upaya pengembangan pariwisatanya. Itu pilihan,” paparnya.

Guntur menegaskan apa yang sering disampaikan Menpar Arief Yahya di berbagai momentum. Bahwa semua terkait dengan strategi. Dulu ketika awal pemerintahan Presiden Jokowi, Menpar Arief Yahya menggunakan strategi BAS dalam promosi, yakni Branding, Advertising, Selling. “Ketika sedang masuk ke level Branding, sudah banyak yang menyoal, kok jumlah wismannya tidak langsung besar? Padahal biaya promosinya besar?

“Banyak yang lupa, bahwa kita mengerjakan dari yang mendasar dulu, mulai Branding. Ini terkait semua, bahwa ketika brand kita naik, maka akan diikuti oleh kenaikan investment,” ungkapnya.

Guntur juga menjelaskan, strategi pengembangan pariwisata itu tidak langsung dirasakan hasilnya dalam jangka pendek. Branding itu long investment. Menuju ke selling, semakin jangka pendek. Sama dengan strategi size dulu, atau volume dulu, jumlah wisman dulu.
“Ini juga bagian dari strategi. Mirip dengan case-nya telekomunikas. Segmen pra bayar itu sizenya besar, meskipun belanja per penggunanya kecil-kecil. Tetapi secara keseluruhan, total pre paid (pra bayar) itu jauh lebih besar, bahkan di atas 90% dari yang post paid (pasca bayar). Dan, size atau jumlah pra bayar itu tidak akan sebesar sekarang, jika strategi ini tidak dipakai,” ungkapnya. Jadi mengejar volume dulu, baru menaikkan spending.

Lalu apa patokannya? “Menggunakan 3S-nya Pak Menpar Arief Yahya, Size, Sustainability dan Spread. Idealnya, ketiganya besar semua, maka hasilnya istimewa. Kalau pun spread atau spendingnya belum besar, minimal size dan sustainability nya besar,” kata dia.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *