Tourism 4.0 adalah Millennial Tourism

oleh -1,375 views
oleh

SUARAJATIM.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sudah siap menyambut kehadiran era Tourism 4.0. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, Tourism 4.0 lahir seiring dengan mulai tersedianya big data perilaku travellers. Data dikumpulkan via apps dan sensor. Kemudian, diolah untuk menciptakan seamless dan personalized travelling experience.

“Seamless dan personalized experience bisa diwujudkan karena adanya peran teknologi-teknologi Revolusi Industri Keempat (4.0) yaitu artificial intelligence, internet of things (IoT), big data analytics, robotics, augmented reality, cloud computing, blockchain, dan sebagainya. Inilah berbagai teknologi yang kini sering disebut sebagai Teknologi 4.0,” jelas Menpar Arief Yahya saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pariwisata I Tahun 2019 di Golden Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, (28/2).

Seperti diketahui, Indonesia telah memasuki era Revolusi Industri Keempat. Menurut World Economic Forum (WEF), era ini ditandai dengan lahirnya “cyber-physical systems” yang menggabungkan kemampuan manusia dan mesin (robot).

Revolusi Industri Pertama terjadi di abad ke-18 (1784) ditandai dengan pesatnya kemajuan mesin uap dan mesin-mesin pengganti tenaga manusia. Revolusi Industri Kedua terjadi di penghujung abad ke-19 (1870), yang ditandai dengan kemajuan sistem produksi massal dan energi listrik. Sementara Revolusi Industri Ketiga terjadi sejak 1969 yang ditandai kemajuan elektronik, ICT (informasi dan telekomunikasi), dan otomasi.

WEF memprediksi penerapan teknologi 4.0 akan menghasilkan “disruptive effect” yang akan mengubah secara mendasar wajah berbagai industri termasuk industri pariwisata.

“Berbagai kemajuan teknologi 4.0 memungkinkan terwujudnya berbagai aplikasi yang mampu memperkaya traveller experience di satu sisi. Hal ini secara drastis mendongkrak produktivitas industri pariwisata di sisi lain,” papar Menpar Arief Yahya.

Di bandara misalnya, dimungkinkan adanya robotic airport guide/helper yang membantu para travellers melakukan proses check-in dan boarding. Juga layanan on-demand service untuk jasa transportasi yang sangat praktis dan efisien.

Di hotel bisa dikembangkan layanan e-concierge, m-payment, atau personal assistant dengan memanfaatkan teknologi augmented reality (AR). Sementara di destinasi wisata, seluruh informasi destinasi tidak lagi melalui brosur atau penjelasan para guide, tapi sudah memanfaatkan teknologi virtual reality via smartphone di tangan.

“Singkatnya, Revolusi Industri Keempat bakal mengubah dan mendisrupsi industri pariwisata secara mendasar. Karena terwujudnya cost value (“more for less”), experience value (“personalized”), dan platform value (“resources sharing”) yang bakal dinikmati para travellers. Karena itu kita harus mampu menjadikan teknologi 4.0 sebagai sumber competitive advantages baru di pasar global,” tutur pria asal Banyuwangi ini.

Dilanjutkan Menpar, Tourism 4.0 Global Best Practices Konsep Tourism 4.0 termasuk baru di dunia. Coba saja search di Google, pasti tak banyak menemukan materi mengenai konsep ini. Berbagai negara masih bereksperimen untuk bisa mengambil manfaat maksimal dari tren Tourism 4.0 ini.

“Karena itu benar kata Jack Welch, “Not Invented Here”, kita harus mengambil pelajaran dari negara-negara lain yang sudah menerapkannya agar kita tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sudah mereka perbuat,” ungkapnya.

Di Eropa, negara yang paling maju menerapkan Tourism 4.0 adalah Spanyol. Spanyol adalah salah satu negara termaju dalam urusan mendatangkan wisman. Tahun 2017 lalu Spanyol menduduki urutan kedua dengan jumlah wisman mencapai 82 juta. Kontribusi sektor pariwisata Spanyol mencapai 15% GDP, menyerap 15% tenaga kerja yang mencapai lebih dari 2,8 juta.

“Karena itu Spanyol sangat serius membenahi sektor pariwisatanya dengan menempatkan teknologi 4.0 sebagai sumber competitive advantages,” kata Menpar Arief Yahya.

Upaya ini diwujudkan dalam inisiatif Smart Destination yang memanfaatkan teknologi 4.0: big data, open data, mobile apps, free WiFi, geolocation systems, QR code, dan videomapping/holography techniques di seluruh bagian kota yang menjadi destinasi wisata. Saat ini sudah ada 11 smart cities di Spanyol yang sudah diperlengkapi dengan infrastruktur teknologi 4.0.

“Tujuannya untuk mempermudah, mempernyaman, dan memperdalam experience setiap wisatawan yang berkunjung ke Spanyol,” lanjutnya.

Di samping melihat Spanyol, Menpar juga menengok pengalaman Malaysia. Negara tetangga sekaligus pesaing terdekat Indonesia ini rupanya juga telah menerapkan konsep Tourism 4.0 yang diluncurkan awal tahun lalu. Inisiatif ini dinamai Smart Tourism 4.0 yang menggandeng raksasa digital Cina Tencent Holding sebagai partner teknologi.

“Inisiatif ini merupakan milestone pertama dari roadmap sektor pariwisata Malaysia selama 10 tahun ke depan. Di sini Tencent akan membantu Malaysia membangun ekosistem digital di berbagai destinasi wisatanya untuk menarik turis inbound dari Cina,” ujarnya.

Inisiatif ini diarahkan untuk menarik segmen millennial travellers yang tumbuh pesat dan nilai devisanya amat besar. Millennial travellers adalah segmen yang tech-savvy sehingga pas jika diberi sentuhan teknologi 4.0. Malaysia berambisi akan menarik wisman hingga empat kali lipat dari sekitar USD25 miliar saat ini menjadi USD110 miliar di tahun 2030.

Bagaimana dengan Indonesia?
Menpar melihat urgensi Tourism 4.0 di Indonesia dari perspektif konsumen yaitu kenyataan perilaku konsumen yang sudah sangat digital dan semakin dominannya millennial travellers dalam komposisi wisman yang datang.

“Sekitar 70% travellers itu search dan share-nya sudah melalui digital. Lebih dari 50% inbound travellers kita adalah milenial yang digital savvy. Mereka adalah segmen yang penting karena tak hanya ukuran pasarnya besar dan terus bertumbuh tapi juga influencing power-nya luar biasa (“Big and Loud”),” paparnya.

Karena itu agar menjadi lebih riil, Menpar kembali menegaskan Tourism 4.0 adalah pariwisata untuk milenial (millennial tourism) yang memang seluruh aspeknya hidupnya sudah tergantung pada digital. Intinya, milenial menuntut adanya digital experience dari setiap titik di dalam consumer journey mereka.

Traveller journey ala milenial (sebut saja Traveller Journey 4.0) dalam berwisata mulai dari inspirasi (mendapat ide berlibur), melakukan riset dan perencanaan liburan, mem-booking pesawat dan hotel, berada di airport, sampai di destinasi dan menikmatinya, hingga setelah liburan selesai.

Di situ terlihat betapa teknologi 4.0 bisa mempermudah dan memperkaya experience di setiap touch point sehingga secara keseluruhan bisa meningkatkan value berlibur secara dramatis.

“Karena itu mau tak mau kita harus membangun ekosistem pariwisata dimana digital experience harus hadir di setiap titik dalam traveller journey. Untuk mewujudkannya memang kita akan membangun platform dan infrastruktur teknologi 4.0. Namun inisiatif ini membutuhkan biaya yang amat besar dan perencanaan jangka panjang yang matang, karena itu kita harus melakukannya dengan bertahap,” kata Menpar Arief Yahya.

Untuk mewujudkan Tourism 4.0, Menpar memulainya bukan dari membangun infrastruktur teknologinya (“hard aspect”) dulu karena memang investasinya mahal dan bersifat jangka panjang. Tapi justru dari SDM (“soft aspect”). Itu sebabnya Rakornas I tahun 2019 sengaja mengambil tema pengembangan SDM pariwisata untuk menyongsong era Tourism 4.0.

“Saya berharap melalui Rakornas I ini kita memiliki roadmap langkah-langkah yang harus kita jalankan untuk membangun SDM 4.0 mulai dari mapping dan pengembangan kompetensi digital 4.0. Yaitu mengembangkan digital talent 4.0 di seluruh ekosistem industri pariwisata, digital literacy 4.0 untuk masyarakat luas dan pelaku UKM, link & match 4.0 di industri pariwisata, hingga menumbuhkan startup 4.0 di industri pariwisata,” pungkasnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *