Mencari Identitas Kaum Sarungan Madura di Tahun Politik

oleh -1,467 views
oleh

SUARAJATIM.CO.ID, Kaum sarungan merupakan representasi dari kaum “santri” dan “kiai” yang selalu menjadi icon bangsa dalam menebar kebaikan dan kedamaian, kaum sarungan adalah utusan langit yang selalu membawa keteduhan disaat kondisi bangsa panas.

Dalam menjemput pesta demokrasi seyogyanya kaum sarungan hadir dengan membawa pesan kedamaian. Namun, akhir-akhir ini kaum sarungan menjadi bagian dari pelopor “ketidak sejukan” dan meningkatkan tensi suhu politik dengan menebar pesan-pesan yang menakutkan dan tidak elok didengar (kebencian).

Moralitas bangsa seakan-akan tertutupi oleh keegoisan dan fanatisme demokrasi politik, nilai ketuhanan seakan-akab punah dari prinsip berbangsa & beragama, caci maki sudah menjadi menu sarapan setiap hari, mengolok-olok orang lain dengan kata “kafir”, “biadab” dan lain-lain seakan-akan menjadi langanan untuk dikonsumsi dan diperjual belikan kepada publik. Ironis, jika ada seorang yang disebut “kaum sarungan” mempraktikan prilaku tersebut.

Dulu, apabila dengar “kaum sarungan” yang ada dalam mindset masyarat Madura adalah orang yang berilmu dan bijaksana. Berjalannya waktu, nama tersebut. tidak lagi menjadi orang yang disengani prilakunya dan ditaati perkataannya. Keilmuan yang dimiliki saat ini ( tahun politik) kontradiksi dengan realitas dan pemahaman keagamaannya.

Kaum sarungan, merupakan investasi terbesar di negeri ini dalam menjaga kerukunan dan mempertahankan NKRI, misalnya KH. Muhammad Cholil bin Abdul Latief salah seorang kyai (ulama) yang mempunyai karisma tinggi, terbukti beliau sebagai tokoh masyarakat terkemuka, sosok figur kepemimpinan yang potensial, bertanggung jawab, arif wibawa dan bijaksana.

Beliau hidup di zaman penjajahan menjadikan kehidupan Kyai Cholil juga tidak lepas dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Cara utama yang dilakukan adalah memulai bidang pendidikan. Melalui jalur ini Kyai Cholil mempersiapkan pemimpin yang berilmu, punya wawasan, tangguh dan banyak integritas, baik kepada agama maupun bangsa.

Salah satu muridnya ialah Kh. Hasyim asy’ari representasi  dari kaum sarungan, dengan jiwa kesatriannya beliau mampu mengusir penjajah dari kota surabaya dengan para kaum sarung lainnya.  kini, tapak tilas itu dikenal dengan resolusi Jihad yang di peringati setiap tanggal 22 oktober .

Contoh kedua adalah Gus dur; salah satu guru bangsa dan sang revolusioner agama dengan konsep pluralismenya ia mampu merangkul semua agama dengan menjungjung tinggi Nilai-Nilai ketuhanan dan kebangsaan.

dalam konteks politik gus dur  merupakan sosok yang mampu membawa visi ketuhanan dalam meletakan nilai kemanusian diatas segalanya, sehingga ia punya prinsin hidup dengan diksi “yang paling penting dari politik adalag kemanusian”. Politik baginya hanya jalan untuk memulyakan manusia bukan mencaci dan menghina manusia apalagi menghina pemimpin.

Disisi lain politik bagi seorang gus dur adalah alunan musik yang terdiri dari not dan irama yang membawa suasana kesejukan dan keharmonisan antar penikmatnya (elite dan simpatisan politik). Jika keributan (konflik) terjadi dalam politik maka dipastikan ada sirkulasi perpolitikan yang putus yakni kemanusian.

Hilangnya peradaban kaum sarungan madura di akhir-akhir ini tidak lain karena makin perkembangnya tekhnogi dan terbukanya akses informasi yang begitu cepat, sehingga mereka mudah mengkonsumsi informasi tapi tidak mampu mengconter informasi yang valid dan hoaks. Sehingga kebencian hanya didasarkan informasi yang bohong, menutup cakrawala pengetahuan. Sehingga menghina dan mencaci maki menjadi mudah misalnya jokowi Pro PKI, Kriminalisasi ulama dab anti islam.

Kagetnya, Berapa hari yang lalu. saya mendengar ceramah seorang kiai disalah satu daerah yang ada dimadura dengan mengebuh-gebuh berteriak “ganti presiden” dan menjelekan “pemerintah” anti islam, kriminalisasi ulama dan lain-lain. Seakan-akan agama menghalalkan berkata buruk dan mempolitisasi agama atas dasar kepentingan kelompok dengan menyerukan memilih pasangan prabowo-Sandi, tidak murni karena kedamaian.

viralnya fatwa tersebut di gagas oleh berapa ulama semadura dengan mengambil sampel satu setiap kab. Kota yang ada dimadura,  dukungan kiai tersebut membuat silogisme masalalu dengan sekarang tentang keberadan komunis, seakan-akan Pemerintah (Jokowi) saat ini Pro PKI dan membiarkan kedholiman meraja rela di ibu pertiwi.

Jokowi seakan-akan menjadi bagian dari perusak dan penghianat founding father bangsa. Namun, hal itu semua hanya narasi fiktif yang dilakukan oleh sebagian kaum sarungan dimadura demi kepentingan politik walaupun di pragraf kedua mengatakan “bukan soal prabowo dan jokowi tapi karena kencintaan terhadap Negeri”. Argumen tersebut patah dan gugur, ketika di pragraf kelima memuat redaksi “jangan berharap islam dan semua yang bernuansa islan tetap ada jika moncong putih berkuasa lagi”, sintesanya bahwa islam tidak akan maju dan berkembang jika jokowi memimpin lagi.

kaum sarungan (kiai) seharusnya tidak membuat edaran yang seperti itu, tapi buatlah edaran atau fatwa pada masyarakat yang menyejukan bukan merendahkan apalagi menghina pemimpin. Saya kira, apa yang disampaikan dan di fatwakan kiai madura yang termuat dalam surat edaran tidak elok untuk dikonsumsi. Sebab, selama ini pemerintah banyak memberikan kontribusi terhadap pendidikan dan kaum santri.

Jokowi yang dikatakan anti islam, saya kira argumentasi tersebut dipatahkan dengan mengangkat kiaj ma’ruf sebagai wakil dan berkunjung pak jokowi setiap minggu kepesantren, saya kira masyarakat indonesia dan madura sudah pintar membaca fenomena selama ini dan track record pak Jokowi.

Apabila di era penjajahan “kaum sarungan” di sematkan sebagai pejuang dan penjaga demokrasi. Kini, ada kiai yang hanya menjadi tontonan penyebar kebencian dalam berdemokrasi. Kesantunan dalam bertutur kata sudah tidak lagi menjadi krakteristiknya, seakan-akan marwah dan martabat kiai hilang dalam konteks 5 tahunan, innalillah.

Seyogyanya, pesta demokrasi 5 tahunan ini disambut dengan gembira ria. Sebab, pesta ini adalah pesta rakyat atau perayaan umat. Dengan hal itu, seharusnya rakyat indonesi menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusian tanpa memusnahkan persaudaraan apalagi menjelek-jelekan orang yang beda pilihan. Bersatu dengan bingkhai kebhinekaan adalah jalan yang indah tanpa adanya fitnah. Menjaga kerukukunan tanpa permusuhan adalah kesantunan berbangsa dan beragama dalam menjalankan aktivitas pemilu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *