Ketua DPD RI Penyambung Aspirasi Wong Cilik

oleh -905 views
oleh

Oleh: M.D. La Ode

Belakangan ini Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Ir. H. A.A La Nyalla Mahmud Mattalitti (La Nyalla) tiba tiba populis. Foto fotonya terpampang di mana mana tempat terpilih. Baleho ada di Jakarta, Bogor, Ciawi, Cianjur, Padalarang, Bandung, dan seterusnya. Pengaruh suara aspiratifnya bagai kembang api meletup indah di ruang publik politik.

Sontak banyak pihak terkejut. Sampai ada yang sinistis menggunakan kalimat bahwa La Nyalla manfaatkan DPD RI untuk kepentingan pribadi; ada pula yang bilang La Nyalla mau nyapres 2024 dan lain seterusnya.

Tidak! Seyogyanya tak usah buru buru sinis terhadap social politics movement Lanyalla. Sebagai pejabat negara, ia menyerap aspirasi wong cilik yang sejak hasil Pemilihan Umum (Pemilu) demokrasi pertama era reformasi 1999 hingga saat ini, suara wong cilik diperlukan nilai politisnya oleh wong gede.

Namun usai nilai politis wong cilik diberikan kepada wong gede, aspirasinya pada aspek kedaulatan negara milik wong cilik tampak diabaikan oleh aktor aktor penentu kebijakan pada suprastruktur politik dan di infrastruktur politik. Perdefinisi wong cilik ialah semua warganegara Indonesia bukan kategori aktor dalam ruang suprastruktur politik dan infrastruktur politik.

Sedangkan wong gede ialah semua warganegara Indonesia yang masuk kategori aktor suprastruktur politik dan infrastruktur politik mulai struktur nasional hingga di daerah pada struktur terrendah.Keluhan wong cilik itu didengar oleh La Nyalla selaku pejabat negara yang tampil bagai wong cilik.

Dalam pada itu, Ia mencoba menyambung aspirasi wong cilik terabaikan itu melalui saluran keterbukaan di ruang publik politik. Mana tau diperhatikan oleh wong gede yang ada di ruang suprastruktur politik dan ruang infrastruktur politik.

Apa saja social politics movement La Nyalla yang fenomenal?
1. Hubungan Pusat dan Daerah
Social politics movement La Nyalla konstruktif dan konstitusional berhubung ada dibawah naungan UUD 1945 pasal 22D ayat (1) tentang hubungan pusat dan daerah. Wong cilik sebagian besar ada di daerah.

La Nyalla menghubungkan aspirasi kedaulatan negara milik wong cilik kepada wong gede, karena memang sesuai fungsinya menurut konstitusi tersebut, yang kini menjadi keluhan hampir seluruh wong cilik di negeri ini. Pada mana, wong gede seolah “pekakkan telinge” agar tak dengar lontaran kata kata aspirasi wong cilik.

Sebagai wong cilik tentu merasa heppy melihak social politics movement Lanyalla akhir akhir ini. Pada hal Ia juga bagian dari wong gede sebetulnya! Selama ini wong gede tak ada seperti La Nyalla yang amat peduli dengan aspirasi wong cilik. Meskipun ada banyak wong gede yang menggelorakan jargon wong cilik! Tak lebih dari sekedar jargon saja.

2. Menggugat Presdential Threshold 20%
Baru baru ini La Nyalla dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH (Prof. Yusril) masing masing dengan latar belakang berbeda. La Nyalla mewakili DPD RI dan Prof. Yusril mewakili Partai Bulan Bintang (PBB).

Keduanya menggugat Presidential Threshold (PT) 20% ke Mahkamah Konstitusi (MK). Argumentasi hukumnya bahwa “Presidential Threshold” diskriminatif dan menghalangi Hak “Nyapres” warga negara Indonesia yang lebih mampu sekalipun. Dari Bahasa politik, kebijakan PT 20% itu sesungguhnya akal akalan pihak pemenang pemilu 2014 dan 2019. Mungkin tujuannya agar factor dominan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tetap ada pada pihak mereka.

Jika tujuan ini benar adanya, ini jelas mencederai demokrasi di Indonesia yang telah menjadi consensus nasional sejak tanggal 21 Mei 1998 lalu. Nama persisnya Anarchy Democracy yang lebih berat dari dari tirani demokrasi. Dari sisi konstitusi, semua konsideran Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tak satu pasal pun atau tak satu klausul pun yang mengamanatkan bahwa dalam pencalonan presiden dan wakil presiden agar ada syarat jumlah persentatif tertentu yang akhirnya muncul PT 20% tersebut. Dalam hal ini upaya La Nyalla dan Prof. Yusril demokratis, konstruktif, dan konstitusional.

3. La Nyalla dan Politik Negara
Dalam hubungan ini La Nyalla menuntut perubahan radikal pada suprastruktur politik. Ia menuntut agar wong cilik dan wong gede secara bersama sama dan dalam mekanisme demokratis sudi mengembalikan UUD 1945 asli. Tujuannya tak lain “mengembalikan kedaulatan negara kepada wong cilik” sebagai pihak pemilik absolut. Dalam kontekstual ini, La Nyalla sangat nasionalis atas dasar paham Politik Negara.

Bahwa Negara ialah kekuasaan politik dan oleh sebab itu Negara adalah kekuasaan diskriminatif atas bangsa lain atau Negara lain. Jika warga Negara Indonesia asal bangsa linnya keberatan dengan penegakkan politik Negara ini, tak perlu bertengkar dengan dia, suruh cari Negara lain saja. Ini ialah inti nasionalisme dalam makna Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta.

Kemerdekaan ialah jembatan emas mencapai masyakarat adil dan makmur kata Soekarno. Tetapi mengapa UUD 1945 pasal 6 Ayat (1) semula Presiden dan wakil presiden ialah orang Indonesia asli dirubah menjadi Presiden dan wakil presiden ialah warga Negara Indonesia…”.

Lupakah bahwa warga negara dua kategori orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lainnya yang menjadi warga Negara? Kategori kedua ini tak berhak atas kedaulatan negara yang jadi hak milik absolut bangsa asli! Seluruh dunia berlaku seperti itu. J.J. Rousseaue mengatakan bahwa kedaulatan tidak bisa dicabut dan tidak bisa dibagikan.

Tetapi kasus realitas sosial menunjukkan bahwa wong gede telah membagikan kedaulatan negara hak milik absolut wong cilik ini. Di sini letak kekuatan social politics movement La Nyalla yang kemudian dituduh macam macam. Tujuannya mulia, ingin mengembalikan Politik Negara seutuhnya kepada wong cilik.

Jika pun nantinya La Nyallah nyapres berpasangan dengan Prof. Yusril, letak salah dan khilaf keduanya ada di mana? Bukankah keduanya warga Negara Indonesia yang memiliki hak sama dalam demokrasi di Indonesia? Sudahlah, ada baiknya dukung social politics movement La Nyalla dengan semboyan mulia “kebenaran bisa dibohongi namun kebenaran tak bisa dikalahkan” menuju arah perubahan sosial konstruktif dan konstitusional sesuai dengan cita cita Negara Proklamasi Soekarno-Hatta.