Silaturahmi dengan Pengurus Hidayatullah, Fungsi DPD Hingga Hari Anti Islamophobia Dibahas LaNyalla

oleh -784 views
oleh

JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, bersilaturahmi dengan Pengurus Pusat Ormas Hidayatullah, Jumat (15/4/2022), di Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah kawasan Cipinang Cimpedak, Jakarta Timur.

LaNyalla hadir didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifuddin, Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Deputi Administrasi DPD RI Lalu Niqman Zahir, Staf Ahli Ketua DPD RI Baso Juherman beserta jajaran staf lainnya.

Dari Pengurus Pusat Hidayatullah, hadir Ketua Dewan Pertimbangan Hidayatullah Hamim Thohari, Ketua Umum DPP Hidayatullah Nashirul Haq. Pertemuan juga dihadiri Dewan Murrabi Pusat Hidayatullah, Dewan Mudzakarah Hidayatullah, Pengurus DPP Hidayatullah, Pengurus Organisasi Pendukung Tingkat Pusat Hidayatullah dan Pengurus Amal Usaha Tingkat Pusat Hidayatullah.

Saat berdialog, LaNyalla memaparkan situasi nasional dan internasional terkini. Salah satunya mengenai bagaimana pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Hari Anti Islamophobia yang telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

LaNyalla juga menyampaikan jika DPD RI memiliki kewenangan yang berbeda dengan DPR RI. ”

DPD RI itu hanya pengawasan dan menerima aspirasi. Sementara DPR RI memiliki kewenangan budgeting dan menentukan UU,” kata LaNyalla.

Senator asal Jawa Timur itu melanjutkan, sejauh ini, katanya, dalam pandangannya DPR RI tak lagi memainkan fungsi kontrol terhadap pemerintah.

“Yang terjadi justru berkomplot dengan pemerintah. Maka, kami DPD RI mengambil peran pengawasan terhadap roda pemerintahan,” ujar LaNyalla.

Sebagai wakil rakyat, LaNyalla menegaskan jika jabatannya didapat di atas sumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal ini Allah SWT. Oleh karenanya, kata dia, wakil rakyat memiliki tanggung jawab yang cukup besar untuk menyejahterakan rakyat.

“Kita ini disumpah atas nama Allah SWT untuk menyejahterakan rakyat. Kemudian jabatan Presiden mau diperpanjang di tengah situasi rakyat yang masih miskin, masih susah. Itu sama dengan kita mengkhianati rakyat,” tegas LaNyalla.

LaNyalla yakin jika saat ini tak ada masyarakat yang nyaman dengan situasi yang dialami. “Kalau kita memikirkan diri sendiri, kita tinggal menikmati saja perpanjangan tiga periode ini. Tapi kita tak mau seperti itu. Sama saja kami ini memperkaya oligarki dan membuat rakyat kita tambah kere,” kata LaNyalla.

Ia pun memaparkan Big Data sebagaimana disitir oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. “Saya sudah buka Big Data milik DPD RI kemarin. Kita paparkan semua temuan kita. Saya bisa tegaskan bahwa klaim Luhut 110 juta orang mendukung penundaan pemilu itu bohong,” tegas LaNyalla.

Sebaliknya, yang terjadi justru masyarakat gaduh dan ramai memperbincangkan kelangkaan minyak goreng dan sejumlah komoditas lainnya. “Hanya 663 ribu saja yang menyinggung penundaan pemilu. Dan hanya 10 ribu percakapan yang membahas secara spesifik soal penundaan pemilu,” terang LaNyalla.

Di sisi lain, LaNyalla juga menyinggung soal Hari Anti Islamophobia yang baru saja ditetapkan oleh PBB. Ia meminta pengurus Hidayatullah memasifkan informasi tersebut agar dapat menjadi peringatan yang bermakna bagi masyarakat Muslim dunia.

Di sisi lain, Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefin Syaifuddin menyatakan hal senada. Ia menyayangkan Hari Anti Islamophobia tak disambut dengan gegap gempita oleh umat Muslim Indonesia.

“Saya kira perlu ada desakan kepada Legislatif untuk diratifikasi, meskipun tidak semua kesepakatan internasional itu diratifikasi. Islamophobia dapat kita rasakan,” tegas Sefdin.

Ia juga menyinggung polarisasi yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, hal itu imbas dari Presidential Threshold 20 persen dan semakin meruncing sejak Pemilu 2014.

Presidential Threshold 20 persen tak membuka ruang bagi putera dan puteri terbaik bangsa untuk berkontestasi dalam pemilu.

“Dan hal itu yang menyumbang polarisasi yang sampai hari ini dipelihara. Kita merasakan polarisasi itu sejak 7 tahun yang lalu, tepatnya sejak Pemilu 2014. Sebelumnya, kita tak pernah merasakan hal itu. Presidential Threshold ini adalah kunci masalah polarisasi bangsa ini. Ini juga menjadi concern Ketua DPD RI,” papar Sefdin.

Selanjutnya, dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), Sefdin memaparkan jika menurut catatan Salamudin Daeng, pemerhati masalah energi, hasil produksi batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar atau dalam rupiah menjadi Rp2.299 triliun.

Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas. Produksi Sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai Rp950 triliun, maka jika dibagi dua dengan negara, pemerintah bisa menggratiskan biaya pendidikan dan memberi gaji guru honorer yang layak.

“Kalau dikelola negara sebesar 55 persen, lalu sebesar 35 persen kontraktor yang mengerjakan dan 10 persen untuk masyarakat di sekitar situ, 7 tahun kita bisa bayar utang Rp7 ribu triliun. Itu hanya dari batubara saja, belum lainnya,” ujarnya.

Sementara saat ini, dana yang masuk ke negara dari royalti dan bea ekspor dari sektor mineral dan batubara sejak tahun 2014 hingga 2020, berdasarkan data di Kementerian ESDM, setiap tahunnya tidak pernah mencapai Rp50 triliun.

Hanya di tahun 2021 kemarin, saat harga batubara dan sejumlah komoditi mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus Rp75 triliun.

Selanjutnya soal Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Sefdin menyebut DPD RI pernah dimintai pendapatnya. Saat itu, ada 11 catatan kritis dari DPD RI terkait pembangunan IKN Nusantara tersebut.

“Saat itu ketua Tim Panja UU IKN DPD RI berasal dari Kalteng, Teras Narang. Secara prinsip, jika dikehendaki, DPD RI tidak dalam posisi menolak dan tidak pula dalam posisi mendukung. Ada 11 catatan kritis. Salah satunya adalah soal forestasi, yakni soal konsekuensi lingkungan hidup,” papar Sefdin.

Lalu juga soal aset pemerintah yang ada di Jakarta jika Ibu Kota dipindahkan. “Treatment-nya seperti apa? Apakah disewakan atau dijual? Kalaupun dijual, tidak akan mungkin pribumi Indonesia mampu membeli. Itu beberapa catatan kritis DPD RI,” terang Sefdin.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Hidayatullah, Nashirul Haq menjelaskan organisasinya sudah sejak 20 tahun lalu menjelma menjadi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Hidayatullah, Nashirul Haq melanjutkan, memiliki target pada tahun 2025 tersebar di seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.

“Tahun 2025 kami menarget sudah ada di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Kami memiliki jaringan pesantren yang cukup banyak. Jadi, kami ini merupakan ormas yang menggabungkan antara NU dan Muhammadiyah. Muhammadiyah terpusat dengan pendidikan, NU dengan pesantrennya. Hidayatullah seperti itu. Kulturnya pesantren, formalnya sekolah,” papar dia.(*)