Tanggapi Keluhan Petani Sragen, Kementan Tegaskan Dilarang Jual Pupuk Paket Subsidi dan Non Subsidi

oleh -336 views
oleh

SRAGEN – Sejumlah kelompok tani di Kabupaten Sragen mengeluhkan kebijakan dari kios pengecer pupuk yang menerapkan embel-embel harus membeli pupuk nonsubsidi jika ingin menebus jatah pupuk subsidi. Tak hanya itu, bahkan sebagian pengecer mengancam tidak akan memberikan jatah jika petani tak mau mengikuti aturan membeli pupuk nonsubsidi mereka.

Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo menegaskan, kebijakan pupuk bersubsidi dikeluarkan bukan untuk memberatkan petani. Tetapi justru untuk membantu petani memperlancar usaha taninya.

“Pupuk subsidi dikeluarkan untuk mendukung aktivitas usaha tani para petani. Jadi tidak ada kebijakan menjual pupuk subsidi secara paket. Petani bisa mendapatkan pupuk tersebut sesuai dengan kebutuhannya,” ujar Mentan SYL, Kamis (15/4).

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Sarwo Edhy menambahkan, data-data petani penerima pupuk bersubsidi sudah tercantum dalam e-RDKK. Dan petani bisa mendapatkan pupuk sesuai data yang tercantum.

“Tidak ada kebijakan mengharuskan petani mendapatkan pupuk secara paket dengan pupuk non subsidi,” tegas Sarwo Edhy.

Sarwo Edhy menegaskan jika distribusi pupuk subsidi mengacu pada prinsip 6T atau 6 Tepat. Selain itu, Kementan juga meminta partisipasi masyarakat guna mengawasi pelaksanaan program subsidi.

“Prinsip distribusi pupuk subsidi yang diterapkan adalah 6T alias 6 Tepat, yaitu Tepat Jenis, Tepat Mutu, Tepat Jumlah, Tepat Tempat, Tepat Waktu, Tepat Harga, dan Tepat Sasaran,” terang Sarwo Edhy.

Keluhan itu salah satunya mencuat di Sidoharjo dan Tanon. Perwakilan Kelompok Tani Karya Mulya Desa Taraman, Kecamatan Sidoharjo, Joko Alip Sutanto menyampaikan saat ini, kendala yang dihadapi petani tidak hanya jatah pupuk bersubsidi yang jauh di bawah kebutuhan.

Tapi petani juga dipersulit dengan kebijakan pengecer yang mulai main tumpang dalam mendistribusikan pupuk subsidi jatah petani.

“Banyak petani yang ngeluh, kenapa harus diembel-embeli beli pupuk nonsubsidi. Kalau nggak dibeli, jatah pupuk bersubsidinya tidak diberikan. Akhirnya petani yang tua-tua menolak dan tidak mau beli lagi. Karena diwajibkan beli nonsubsidi itu jadi malas,” paparnya.

Alip menuturkan kebijakan embel-embel harus beli nonsubsidi itu sangat memberatkan petani. Sebab dari segi harga, pupuk nonsubsidi jauh lebih mahal dan bisa berlipat dari pupuk subsidi.

Karenanya ia menanyakan kepada dinas dan PI apakah sistem distribusi pupuk bersubsidi memang pakai sistem tumpangan atau paketan seperti itu.

Senada, keluhan soal tumpangan pupuk nonsubsidi juga terjadi di Tanon. Wakil Ketua Poktan Raharjo Desa Gawan, Sutarno juga mendapat keluhan dari anggota Poktan karena diancam oleh pengecer tidak akan diberi jatah pupuk subsidi jika tidak mau membeli nonsubsidi.

“Ya kemarin sempat ramai, petani di sini juga mbengok karena mau ambil jatah subsidi harus diembel-embeli beli nonsubsidi. Kalau nggak mau, jatahnya pupuk subsidi nggak diberikan,” paparnya.

Ia menyampaikan petani sempat berang dan berontak karena tumpangan pupuk nonsubsidi itu cukup mahal. Setiap satu hektare, petani diwajibkan membeli pupuk NPK nonsubsidi satu sak 20 kg seharga Rp 185.000.

“Ya pada nggak mau. Karena memberatkan. Dulu juga nggak ada tumpangan macam-macam kok mau dipermainkan. Sudah petani ini kesulitan pupuk kurang, malah dibebani pakai tumpangan segala. Siapa yang nggak pegel,” tuturnya.

Kepala Dinas Pertanian Sragen, Eka Rini Mumpuni Titi Lestari menyampaikan untuk tahun ini, alokasi pupuk bersubsidi Sragen memang berkurang dari tahun lalu.

Untuk TSP dan ZA tidak ada jatah lagi. Sementara hanya Urea yang dijatah 99 persen dari pengajuan. Kemudian jenis NPK hanya mendapat jatah 30 persen dari pengajuan kabupaten.

“Sedangkan jatah pupuk organik kita dapatkan. Pengurangan itu karena memang kemampuan anggaran pemerintah yang banyak untuk penanganan Covid-19,” tandasnya.

Lebih lanjut, ia menyampaikan terkait penyediaan pupuk bersubsidi, dinas sudah berupaya semaksimal mungkin. Pada pendataan awal terkait Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) juga sudah diinput sesuai dengan kebutuhan petani. Tentunya kebutuhan itu disesuaikan dengan rekomendasi Balitbangtan.

Kemudian sebelum membuat RDKK, para petugas PPL juga sudah dikerahkan mendampingi petani dan Poktan dengan pedoman dari Balitbangtan.

“Dari RDKK kemudian diinput ke E-RDKK. Ternyata yang turun memang di bawah kebutuhan dan RDKK. Karena pemerintah banyak prioritas alokasi anggaran di era Covid-19 ini. Tidak hanya dunia pertanian, semua sektor juga merasakan imbas yang sama,” tukasnya.

Ia berharap kekurangan alokasi itu bisa dipenuhi dengan pupuk nonsubsidi atau bisa menggunakan pupuk organik. Sebab kalau hanya mengandalkan jatah pupuk subsidi memang akan sangat kurang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *